MAKALAH
POSITIVISME
(FILSAFAT BERBASIS POSITIF)
Di susun untuk memenuhi Mata kuliah Filsafat
Umum
Oleh:
RISMA
NIM.202031358
Dosen pengampu:
Sulfan, S.Fil.I.
M.Ag
NIDN.2117059301
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
AL FURQAN MAKASSAR
2022
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah
SWT. Karena limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang menjadi tugas mata kuliah Filsafat Umum.
Makalah yang berjudul “POSITIVISME FILSAFAT
BERBASIS POSITIF” Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah,kami berharap makalah
ini dapat bermanfaat dan memberikan gambaran atau pun menjadi referensi kita
dalam mempelajari bagaimana itu filsafat
Positivisme yang berbasis positif,siapa yang menjadi tokoh-tokoh filsafat
positivisme dan ciri-ciri filsafat positivisme. Pada makalah ini
Penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari
berbagai pihak.
Terima kasih saya ucapkan atas semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini, Semoga Allah SWT
senantiasa meridhoi segala urusan kita.
Makassar,10 Februari
2022
Risma
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL......................................................................................
i
KATA PENGANTAR...................................................................................
ii
DAFTAR ISI...................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1
A.
Latar Belakang...................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah...............................................................................
1
C.
Tujuan Penulisan.................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................
2
A.
Biografi Auguste Comte (1798-1857).................................................
2
B.
Konsep Dasar Filsafat Positivisme......................................................
4
C.
Tokoh-Tokoh Filsafat Positivisme .................................................... 6
D.
Ciri-Ciri Filsafat Positivisme...............................................................
7
E.
Kelebihan dan Kekurangan Filsafat Positivisme................................. 11
BAB III PENUTUP........................................................................................
13
A.
Kesimpulan..........................................................................................
13
B.
Saran....................................................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Filsafat
positivisme berbasis pada sesuatu yang real, nyata, konkret, kasat mata, bukan
mendasarkan pada sistem metafisik. Filsafat positivisme tidak hendak
menjelaskan esensi, sebab esensi adalah sesuatu yang abstrak. Esensi bisa
berkait dengan nilai maupun penafsiran, sesuatu yang tidak kasat mata. Oleh
karenanya positivisme tidak menjelaskan esensi. Filsafat positivisme sekali
lagi hanya mendasarkan pada kenyataan
dan hanya menggunakan metode ilmiah.
Jadi,
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik.Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan
pada data empiris.Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian
hidup manusia dan ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang
benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan danakurasinya dalam kehidupan dan
keberadaan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Siapakah Auguste Comte seorang filsuf dari filsafat positivisme?
2.
Bagaimana konsep filsafat positivisme?
3.
Bagaimana ciri-ciri filsafat positivisme?
4.
Apa saja hukum tiga dasar yang menjadi ciri khas filsafat postivisme?
5.
Kelebihan dan kekurangan filsafat positivisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Auguste
Comte (1798-1857)
Bapak positivisme, Auguste Comte memiliki
nama panjang Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte. Ia lahir di
Montpellier Prancis pada tanggal 19 Januari 1798 dari keluarga bangsawan
katolik. Namun, ia tidak mengikuti kepercayaan keluarganya yaitu agama katolik
sejak usia muda, ia mendeklarasikan dirinya seorang atheis. Comte kecil
mengenyam pendidikan lokal di Montpellier dan mendalami matematika. Pada usia
ke 25 tahun ia hijrah ke Paris dan belajar di Echole Polytechnique dalam bidang
psikologi dan kedokteran.3 Selain itu, di Paris ia juga mempelajari
pikiran-pikiran kaum ideolog.[1]
Comte adalah mahasiswa yang brillian, namun ia
tidak berhasil menamatkan studi di perguruan tinggi. Ia adalah mahasiswa yang
keras kepala dan suka memberontak. Ia dikeluarkan karena gagasan politik dan
pemberontakan dengan teman sekelasnya. Selain dikenal dengan sifat pemberontak
dan keras kepala, Comte juga dikenal sebagai mahasiswa yang berfikiran bebas
dan memiliki kemauan keras untuk tidak ingin berada di bawah posisi orang lain
yang kemungkinan besar akan mengaturnya. Comte hidup pada masa Revolusi
Perancis, rezim Napoleon, pergantian monarki dan periode republik dimana
pergolakan sosial-politik terjadi cukup hebat. Hal tersebut yang melatar
belakangi pemikiran Comte. Walau mengalami masa yang sulit ia tetap bekerja
keras diantaranya dengan memberi les matematika dan aktif menulis. Dari
sinilahlah, karir profesional Comte dimulai.[2]
Pada
tahun 1817, Comte menjadi sekretaris Simon sekaligus menjadi anak angkatnya.[3]
Pertemuan dengan Simon banyak mempengaruhi perkembangan intelektual Comte
bahkan membuatnya yang semula berlatar belakang eksakta “hijrah” dan mulai
mengkaji bidang-bidang sosial. Perpindahannya ke dalam kajian bidang sosial
pada dasarnya bukan semata-mata terjadi karena bertemu Simon, namun sudah
menjadi bagian dari kegundahannya sejak di bangku perkuliahan dan semakin
berkembang saat bertemu dengan Simon. Dalam kajian ilmu sosial comte sependapat
dengan pendapat Simon bahwa perkembangan manusia bisa dilakukan dengan
perkembangan ilmu pengatahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya.[4]
Dari sinilah Comte mulai mengajar filsafat positifistik di luar pendidikan
resmi dan mendirikan masyarakat positivistik.
Delapan tahun sejak pertemuan dan
pengabdiannya dengan Simon tepatnya pada tahun 1824, Comte memutuskan untuk
tidak lagi mengikutinya. Hal tersebut didasarkan karena Simon menghapuskan
namanya dari salah satu karya sumbangannya. Sejak saat itu Comte memulai
menjalani kehidupan intelktualnya sendiri menjadi dosen penguji, pembimbing dan
mengajar mahasiswa secara privat. Pada tahun 1852, Comte menyatakan bahwa ia
tak lagi memiliki hutang apapun terhadap Saint Simon. Kehidupan Comte tidak
berjalan mulus, selain penghasilan yang diperoleh tidak dapat mencukupi
kebutuhan hidupnya karya yang disusunnya juga terbengkalai. Comte mengalami
tekanan psikoogi yang hebat, bahkan menurut Ope dalam “Tradisi Aliran dalam
Sosiologi” menceritakan bahwa tidak jarang perdebatan yang dilalui oleh comte
berakhir dengan perkelahian. Tekanan demi tekanan membuat Comte semakin
terpuruk, bahkan sampai membuatnya dirinya nekat dan menceburkan diri ke
sungai. Di tengah keterpurukannya datanglah Caroline Massin, seorang pekerja
seks yang tampa pamrih merawat comte. Dalam merawat Comte, Caroline tidak hanya
terbebani secara materil namun Comte juga tak kunjung berubah hingga akhirnya
ia meninggalkannya dan Comte kembali pada kegilaannya. Di akhir usianya Comte
mengalami ganguan jiwa dan wafat di Paris pada 1857.[5]
B. Konsep Dasar Filsafat
Positivisme
Positivisme
berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu
apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme ,pengetahuan kita tidak
pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian,maka ilmu pengetahuan
empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu,
filsafat pun harus meneladani contoh tersebut. Maka dari itu,positivisme
menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat“ benda-benda atau
“penyebab yang sebenarnya”,termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki
fakta-fakta hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.[6]
Positivisme
merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris)
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak spekulasi dari
suatu filosofis atau metafisik. Dapat pula dikatakan positivisme ialah “aliran
yang berpendirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai dan
berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif”.[7]
Positivisme
tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris.
Karena aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara
aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha
menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan
perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
Comte
sering disebut Bapak Positivisme karena aliran filsafat yang di dirikannya tersebut.
Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik.
Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan
untuk mencapai kemajuan. Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang
dengan sangat cepat, ia tidak hanya menjadi sekedar aliran filsafat tapi juga
telah menjadi agama humanis modern.Positivisme telah menjadi agama dogmatis
karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu
pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme
adalah pandangan dunia objektivistik.
Istilah
positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya
ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme
adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.Tokoh aliran
ini adalah August Comte (1798-1857). Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran
yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme.
Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan
memasukkan perlunyaeksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa
kebenaran ialah yang logis,
ada bukti empiris yang terukur .Terukur inilah
sumbangan penting positivisme.
Auguste
Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir Perancis Selatan. Ayah dan ibunya
menjadi pegawai kerajaan dan merupakan penganut agama Katolik yang cukup tekun.
Ia menikah dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia
menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah
satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil
pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan,kemudian setelah ia
menyelesaikan sekolahnya pada jurusan politeknik di Paris 1814-1816, dia diangkat
menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir yang dalam merespon dampak
negatif renaissance menolak untuk kembali pada abad pertengahan akan tetapi
harus direspon dengan menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan berfikir
empirik dalam mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan
intelektual dengan Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola fikir Comte
berkembang. Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint Simon akhirnya ia
memisahkan diri dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul System
of Positive Politics, Sistem Politik Positif tahun 1824. Berawal dari
pemikiran Plato dan Aristoteles, Comte mencoba menggabungkannya menjadi
positivistik.[8]
Selain
Auguste Comte(1798-1857),Beberapa tokoh filsafat postivisme yaitu, Jhon S.Mill (1806-1873)
dan Herbert Spencer (1820-1903).[9]
Jhon Stuart Mill Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom politik dan pegawai
negeri sipil. Dia adalah seorang kontributor berpengaruh untuk teori sosial, teori
politik dan ekonomi politik. Ia menggunakan sistem positivisme pada ilmu
jiwa, logika, dan kesusilaan. Herbert Spencer(1820-1903) adalah seorang filsuf
inggris pemikir teori liberal klasik terkemuka. Dia berkontribusi terhadap
berbagai macam subyek termasuk etnis,agama,politik,retorik,biologi dan
psikologi.
C. Ciri-Ciri Filsafat Positivisme
Adapun ciri-ciri
nya antara lain sebagai berikut:
1.
Objektif/bebas
nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan
subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan
bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-faktayang teramati dan terukur,
maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
2.
Fenomenalisme,
tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi
tersebut. Substansi metafisis yangdiandaikan berada di belakang
gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika).
3.
Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang
nyata.
4.
Reduksionisme,
realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
5.
Naturalisme, tesis
tentang keteraturan peristiwa-peristiwa dialam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan
mengasalkan strukturnya sendiri.
6.
Mekanisme, tesis
bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan
untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan
sebagai giant clock work .[10]
D. Hukum
Tiga Tahap (law of three stages)
Hukum
tiga tahap merupakan ciri khas filsafat positivisme Auguste Comte, karena
keselurahan pemahannya tercermin dalam hukum tersebut. Dalam karya utamanya
dengan judul “Cours de Philosophie
Positive” yang ditulis pada tahun 1830-1842 yang terdiri dari enam jilid.
Menurut Acton yang dikutip Koento Wibisono dalam bukunya bahwa hukum tiga tahap
ini, Comte menjadikannya dasar dan titik tolak dalam menerangkan ajaran
filsafat positivismenya berkenaan dengan sejarah, ilmu pengetahuan, masyarakat
dan agama.[11] Ditambahkan
oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Modern dari
Machiavelli sampai Niettzsche” bahwa menurut Comte perkembangan ilmu
pengetahuan tidak dapat terlepas dari perkembangan manusia dan pemikirannya
selama berabad-abad.[12]
Hukum tiga tahap yang diparkan Auguste Comte membagi tahap perkembangan pemikiran
manusia dari masa ke masa menjadi tiga tahap, yaitu; tahap teologis, tahap
metafisis dan tahap positif. Ketiga tahap ini dipahami Comte sebagai satu
kesatuan tahap perkembangan pola pokir manusia sebagaimana perkembangan tahap
kehidupan umat manusia dari masa kanak-kanak menjadi masa remaja kemudian
menjadi masa dewasa.
Berikut
uraian perkembangan hukum tiga tahap comte yaitu:
1.
Tahap
Teologis atau Fiktif (the theological or
fictitious)
Tahap
ini merupakan awal perkembangan jiwa manusia. Gejala-gejala atau fenomena yang
menarik sealu dikaitkan dengan konteknya. Dalam frase ini manusia selalu
mempertanyakan hal hal yang paling sukar dan menurut pendapatnya bahwa hal yang
sukarpun harus diketahui dan dikenanlnya. Comte menyatakan bahwa tahapan ini
tidak terjadi begitu saja, namun ada sebab musababnya. Berikut tahapan pada
frase ini;
Fetisysme
(fetishism), adalah suatu bentuk
kehidupan masyarakat yang beranggapan bahwa segala sesuatau yang berada di
sekitar mansuia memiliki kehidupan sendiri yang berbeda dengan kehidupan
manusia. Anggapan ini berkembang bahkan segala sesuatu yang berada di sekitar
manusia berpengaruh terhadap kehidupan manusia, sehingga mau tidak mau manusia
harus menyesuakan diri dengan sesuatu tersebut. Sesuatu itu meliputi benda-benda
alam (gunung, pohon, sungai) dan benda benda yang diciptakan sendiri oleh
manusia.[13]
Diperkirakan masa ini adalah masa yang paling lama yang terjadi sebelum tahun
1300-an. Bentuk pemikiran seperti ini dalam pandangan kepercayaan disebut juga
sebagai animisme.
Politeisme
(polytheism), pemahaman ini lebih
berkembang dari pada fetisysme. Yaitu bahwa segala sesuatu tidak lagi benda
benda disekeliling manusia, namun adanya kekuatan yang mnegatur itu dan berada
di sekeliling manusia. Hal tersebut mewajibkan segala tingkah laku/perbuatan
serat pikiran manusia harus mengikuti aturan dari kekuatan tersebut. Dalam hal
inilah kepercayaan terbangun bahwa segala sesuatau ada dewanya. Sehingga
manusia harus tunduk dan takluk pada dewa-dewa tersebut dan mengadakan upacara
ritual untuk menghormatinya.
Monotheisme
(monotheism), merupakan pemahaman
masyarakat segala seuatu tidak lagi diatur oleh dewa yang menguasai benda-benda
ata gejala-gejala alam. Mereka percaya akan adanya yang mengatur segala benda
dan fenomena yang terjadi, kekuatan itu berasal dari suatu kekuatan yang mutlak
yaitu tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini atas
sebabnya, sehingg tingkah laku manusia dan segala fikirannya diorentasikan
untuk tuhan yang menjadi dogma dogma ajaran agama untuk manusia.[14]
2.
Tahap
Metafisis (the metaphysical or abstract)
Berakhirnya
masa monotheis merupakan awal dari tahap Metafisis. Manusia mulai merubah pola
pikir guna menemukan jawaban jaban atas pertanyaan berkaitan dengan gejala alam
yang terjadi. Manusia mulai meninggalkan dogma-dogma agama dan beralih dari
adanya adikodrati (kuasa tunggal) dalam hal ini adalah tuhan menjadi adanya
kemampuan yang abstrak. Dalam hal ini Comte menerangkan bahwa masa ini adalah
masa peralihan atau transisi dari masa kanak-kanak menjadi masa dewasa. Karena
ketidakpercayaan manusia akan adanya adikodrati akhir mereka mau tidak mau
menggunakan akal budi sebagai sumber mancari kebenaran. Pada masa ini manusia
sudah bsa mendeskripsikan secara filosofis (jiwa, ekstensi) berdasarakan
kepercayaaan serta hukum alam. Menurut Comte terjadinya frase ini karena
dominasi sosial para ahli hukum yang menarik doktrin-doktrin sosial dan politik
dari pemahaman ilmu alam. Masas ini diperkirakan terjadi antara tahun 1300
hingga 1800 M.[15]
3.
Tahap
Positif (the positive or scientific)
Pada
masa ini manusia lebih berkembang dari masa sebelumnya. Jika pada masa
metafisik manusia merasa cukup dengan pengetahuna yang abstrak, pada masa ini
yang dibutuhkan adalah pengetahuan yang ril. Pengatahuan yang dicapai harus
melalui pengamatan, percobaan dana perbandingan di atas hukum hukum yang umum
(abstrak). Pengetahuan yang dicapai tidak lagi abstrak, akan tetapi jelas,
pasti dan bermanfaat. Masa ini adalaha masa yang berusaha comte wujudkan,
diamna kehidupana masyarakat akan diatur oleh cendikiawan dan industrialis
dengn dasar rasa perikemanusiaan. Apabila dalam keteologi keluarga adalah dasar
dan dalam metafisik negara merupakan dasar maka dalam tahap positif ini seluruh
umat manusia merupakan dasar itu sendiri.Tahap ini adalah tahap indusrialis
yang terjadi pada setelah tahun 1800.[16]
Pandangan
Auguste Comte mengenai hukum tiga tahap ini tidak terlepas dengan situasi di
Prancis saat yang dilanda kekacauan sosial, pemberontakan rakyat, peromabakan
kekuasaan politik yang disebabkan revolusi yang memberikan pengaruh yang besar
terhadap kehidupan masyarakat. Semula Comte berharap bahwa revolusi memberi
perbaikan terhadapa masalah maslaah yang ada justru malah merusak tatanan
sosial dantidak seperti yang ia cita-citakan. Dengan beberapa latar belakang
tersebut, Comte dengan filsafat positivismenya berharap dapat mengantarkan
masyarakat ke depan pada kemajuan. Semboyan yang ia gunakan untuk mewujudkan
hal itu adalah “savoir pour prevoir”
(mengetahui untuk meramalkan). Dari moto tersebut dapat dipahami bahwa nilai
yang terkandung dalam hkum tiga tahap comte secara terseirat bersifat “positif’
dalam arti ‘kemajuan”. Comte ingin mewujudkan masyarakat yang positif yaitu
masayarakat yang baik. Masyarakat tersebut dipimpin oleh kaum elit cendikiawan
dan industrialis dengan sikap rasional dan ilmiyah dengan dasar cinta kasih
untuk untuk mengatur kehidupan masyarakat.[17]
E. Kelebihan dan Kekurangan Filsafat Positivisme
Positivisme mempunyai beberapa
kelebihan dan kekurangan, yaitu:
1.
Kelebihan
Positivisme
a.
Positivisme lahir
dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh
lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
b.
Hasil dari
rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang
mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidaksecara
spekulatif,arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur
danvalid.
c.
Dengan kemajuan
dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong
untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta,
tetapi juga meramalkan masa depannya.
d.
Positivisme telah
mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
e.
Positivisme sangat
menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan
ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
2. Kelemahan
Positivisme
a.
Analisis
biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar
terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan
manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
b.
Akibat
dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya,
maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya
kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu
didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai
pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang
tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
c.
Manusia
akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa
bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu
dinafikan.
d.
Hanya
berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan
pengetahuan yang valid.
e.
Positivisme
pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat
dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung
kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas
dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja,
padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
f.
Hukum
tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis,
tetapi juga terkesan lincar seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan
batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk
kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Auguste Comte
membawa perubahan besar dalam dunia pemikiran dan mendobrak paham metafisik
yang menjadmur pada abad pertengahaan dengan filsafat positifisme. Positif yang
menurut comte adalah hal-hal yang bersifat nyata, pasti, tepat, berguna dan
memiliki kebenaran yang mutlak. Artinya kebenaran harus bersifat positif bukan
abstrak dan dapat diamati, diukur dan diprediksi sebagaimana moto Comte savoir
pour prevoir” (mengetahui untuk meramalkan). Dalam filsafat Positifisme comte
juag memaparkan tiga tahap perkembangan pemikiran manusia yaitu teologis/fiktif,
metafisis dan positif.
B.
Saran
Jadikanlah makalah
ini sebagai media untuk memahami diantara sumber aliran filsafat modern yang
biasa memberikan kekuasaan bagi adanya bahan-bahan yang bersifat
pengalaman, jadikanlah makalah ini sebagai pedoman yang
bersifat untuk menambah wawasan pengetahuan, jadikan acuan
pemahaman yang lebih dalam sebagai wadah untuk menampung ilmu. Kami juga
mengakui banyak kesalahan terhadap penulisan makalah ini maka dari itu kritik
dan saran sangat diperlukan untuk perbaikan dan pengembangan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman,
F Budi. Filsafat Modern Dari
Machievelli Sampai Niestzsche. Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama. 2004.
Upe, Ambo. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post
positivistik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2010.
Praja, Juhaya S. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Ed. 1. cet. Ke-2. Jakarta: Kencana. 2005.
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. 1987.
Achmadi,
Asmoro. Filsafat Umum. Depok:PT Raja Grafindo Persada. 2017.
[1]F.
Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari
Machievelli Sampai Niestzsche, (Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, 2004),
hlm. 179.
[2]Ambo Upe, Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi
Posivistik ke Post positivistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 70.
[3]Ibid,hlm 71
[4]F.Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machievelli Sampai Niestzsche, (Jakarta: PT
Garmedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 197.
[5]Ambo Upe, Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post
positivistik, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 72.
[6]Prof.
Dr. Juhaya S Praja. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika,
( Ed. 1. cet. Ke-2. Jakarta: Kencana, 2005).
[7]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1987), hlm. 99.
[8]Edi
purwanto. Menyelami Dunia Positivisme.
(https://jendelapemikiran Wordpress.com /2008/05/14Menyelami-Dunia-Positivisme-Mencari-Dunia-Positifisme/)diakses
pada tanggal 11 maret 2022 pukul 04:02.
[9]Asmoro Achmadi,Filsafat Umum(Depok:PT
RajaGrafindo Persada,2017), hlm. 121.
[10]Syaebani.Filsafat
Positivisme dan Ciri-cirinya (syaebani.blogspot.com).
diakses pada 02 maret 2022 pukul 22:03.
[11]Wibisono Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme Auguste Comte, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983),
hlm. 10.
[12]F.
Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari
Machievelli Sampai Niestzsche, (Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, 2004),
hlm. 206.
[13]Wibisono Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme Auguste Comte, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983),
hlm. 12.
[14]ibid
[15]Ambo
Upe, Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari
Filosofi Posivistik ke Post positivistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010), hlm. 78.
[16]ibid
[17]F.
Budi Hardiman, Melampaui
Positivisme dan Modernitas, (
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 23.